Makalah
Takhrij Hadits
Ilmu Hadist
j
disusun oleh :
Wahid Pramono
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bismillah, Dalam mempelajari ilmu
hadits kita juga perlu mengetahui sejarah hadits, penukilan, penyampaian,
kualitas , keadaan dll. Kenapa ? hadits juga merupakan dalil yang bisa dijadikan
penyelesaan sebuah masalah, tapi supaya hadits itu dapat kita yakini. Ya, kita
harus mengetahui keadaan hadits, kualitas dll. Suatu nasehat dapat kita
percayai apabila kita mempercayai orang yang menyampaikannya, kita akan
mempercayai oaring yang menyampaikannya kita harus mengetahui dulu tingkah
lakunya. sama juga halnya dengan sebuah hadits agar kita mempercayainya, kita
terlebih dahulu mengenal siapa yang mengeluarkannya dan bagamana keadaan orang
yang mengeluarkanya itu. Mungkin dalam pembahasn kami kali ini menekankan pada
cara mengeluarkan hadits baik dengan keadaan perawinya, maupun terhadap
kualitas haditsnya, dengan mentakhrij kita dapat mengetahui keadaan hadits dan
kualitasnya. Untuk mengetahuinya lebih dalam kita harus menggunakan metode-metode.
Seperti : Metode Takhrij Naql, Tashih dan I’tibar. Yang akan dipaparkan dalam
bab berikutnya.bukan hanya itu saja, kita juga bisa mengetahui kegunaan dan
tujuan dari takhrij hadits.
B. Perumusan Masalah
Didalam makalah ini akan dibahas meliputi
:
1. Pengertian takhrij hadits
2. Metode takhrij hadits
3. Tujuan dan Faedah takhrij hadits
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini yaitu selain
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits, penulis berharap
dengan makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan kita terutama pengetahuan
tentang Ulumul Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhrij Hadits
a. Secara Etimologi
Kata takhrij berasal
dari kata kharaja, yang berarti al-zuhur (tampak) dan al-buruz (jelas)
(Munawir, 1984: 356). Takhrij juga bisa berarti al-istimbat (mengeluarkan),
al-tadrib (meneliti) dan al- taujih (menerangkan) (Abadi, 1313 H: 192) Takhrij
juga bisa berarti Ijtima’ al-amra’aini al-muttadla diin fi syai’in wahid
(berkumpulnya dua persoalan yang bertentangan dalam suatu hal), al-istimbath
(mengeluarkan dari sumbernya), at-tadrib (latihan), al-taujih (menjelaskan
duduk persoalan, pengarahan) (Ali, 2008: 2). Sedang menurut Syeh Manna’ Al-
Qaththan, takhrij berasal dari kata kharaja yang artinya nampak dari tempatnya,
atau keadaan, terpisah dan kelihatan. Al-kharaja artinya menampakan dan
memperlihatkannya, dan al-makhraja artinya tempat keluar, dan akhraja
al-khadits wa kharajahu artinya menampakkan d
an memperlihatkan hadits kepada orang
dengan menjelaskan tempat keluarnya.(Al- Qaththan, 2006: 189).
b. Secara terminologi
Adapun secara
terminologi, takhrij adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber
aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya,
kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan (Al- Tahhan, 1978: 9).
Takhrij menurut Nizar Ali, mempunyai
pengertian:
1. Mengungkapkan atau mengeluarkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan
para perowi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang mengeluarkan
hadits.
2. Mengeluarkan sejumlah hadits dari kandungan kitabnya dan meriwayatkan
kembali.
3. Petunjuk yang menjelaskan kepada sumber asal hadits.
4. Petunjuk tentang tempat atau letak hadits pada sumber aslinya yang
diriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya, kemudian dijelaskan
martabat/kedudukannya manakala diperlukan ( Ali, 2008: 3).
Sedangkan takhrij menurut istilah ahli
hadits, mempunyai pengertian:
1. Menunjukan asal usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya dari
berbagai kitab hadits yang disusun Mukhorrijnya langsung, kegiatan takhrij
seperti ini sebagaimana yang dilakukan oleh para penghimpun hadits dari
kitab-kitab hadits, misalnya Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang menyusun kitab Bulug
al-Maram.(Ali, 2008: 43)
2. Mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru hadits
atau berbagai kitab yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri
atau para gurunya atau temannya atau orang lain dengan menerangkan siapa
periwayatannya dari para penyusun kitab ataupun karya yang dijadikan sumber
acuan, kegiatan ini, seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhori yang banyak
mengambil hadits dari kitab al-Sunan karya Abu al-Hasan al-Basri al-Safar, lalu
al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri. (Ali, 2008: 43)
3. Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan peristiwanya
dengan sanad lengkap serta dengan menyebutkan metode yang mereka tempuh, inilah
yang dilakukan para penghimpun dan penyusun kitab hadits, seperti al-Bukhari yang
menghimpun kitab hadits Sakhih al-Bukhari (Ismail, 1992:42).
4. Mengemukakan hadits berdasarkan kitab tertentu dengan disertakan metode
periwayatannya dan sanadnya serta penjelasan keadaan para periwayatnya serta
kualitas haditsnya, pengertian al-takhrij seperti ini dilakukan oleh Zain
al-Din ‘Abd al-Rahman ibn al-Husai al-‘Iraqi yang melakukan takhrij terhadap
hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya al-Gazali dengan
judul bukunya Ikhbar al-Ihya’ bi Akhbar al-Ikhya’.(Ismail, 1992: 43).
5. Menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, didalamnya
dikemukakkan hadits itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian
menjelaskan derajatnya jika diperlukan (Ismail, 2005:71).
Dengan demikian pengertian takhrij dalam makalah ini adalah penelusuran atau
pencarian hadits dari berbagai sumbernya yang asli dengan mengemukakan matan
serta sanadnya secara lengkap untuk kemudian diteliti kualitas haditsnya.
B. Metode Takhrij
Takhrij suatu metode untuk menentukan kehujahan
hadits serta unsur-unsurnya. Yang terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Takhrij Naql.
Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya
berupa penelusuran, penukilan dan pengambilan hadits dari beberapa kitab/ diwan
hadits ( mashadir al-asliyah ), sehingga dapat diidentifikasi hadits-hadits
tertentu yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing-masing.
Penakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh para ahli hadits,
diantaranya yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud al-Thahhan yang menyebutkan lima
teknik dalam menggunakan metode takhrij Naql diantaranya :
a. Takhrij dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits
b. Takhrij dengan mengetahui lafadz asal matan hadits
c. Takhrij dengan mengetahui lafadz matan hadits yang kurang dikenal
d. Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits
e. Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadits
Dalam hal ini kami meringkas metode
tersebut menjadi empat, karena metode yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud
al-Thahhan, dari lima metode tersebut salah satu metodenya telah dibahas oleh
metode sebelumnya.
a) Melalui pengenalan nama sahabat perawi hadits.
Metode ini hanya digunakan bilamana nama
sahabat itu tercantum pada hadits yang akan ditakhrij apabila nama sahabat tersebut
tidak tercantum dalam hadits itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya
, maka sudah barang tentu metode ini tidak dapat dipakai. Apabila nama sahabat
itu tercantum dalam hadits tersebut atau tidak tercantum. Masih dapat diketahui
dengan cara tertentu , maka dapat digunakan tiga macam kitab, yaitu :
kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf.
Kitab-kitab musnad adalah kitab-kitab
yang disusun berdasarkan nama sahabat, atau hadits-hadits para sahabat
dikumpulkan secara tersendiri. Kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ahli
itu sangatlah banyak, sebagaian diantaranya :
1) Musnad Ahmad bin Hanbal.
2) Musnad Abu Baqr Sulaiman ibn Dawud al-Thayalisi
3) Musnad Ubaidillah, dll.
Kitab Mu’jam adalah kitab yang ditulis
menurut nama-nama sahabat , guru, negeri,dll. Dalam kitab tersebut penulisan
nama-nama sahabatnya diurutkan secara alfabetis, contohnya :
1) Mu’jam al-Shahabah li Ahmad ibn al-Hamdani.
2) Mu’jam al-Shahabah li abi Ya’al Ahmad ‘ Ali al-mashili, dll.
Kitab Athraf adalah kitab yang
penyususnannya hanya menyebutkan sebagaian matan hadits yang menunjukan
keseluruhannya. Kemudian sanad-sanadnya baik secara keseluruhan atau
dinisbatkan pada kitab-kitab tertentu yang mana kitab ini biasanyamengikuti
musnad sahabat. Kitab Athraf diantaranya :
1) Athraf al-Shahihain li Abi Mas’ud Ibrahim Ibn Muhamad al-Dimasyiqi.
2) Athraf al-Shahihain li Abi muhamad Khalaf ibn Muhamad al-Wasitfi,dll.
b) Melalui pengenalan salah satu lafadz hadits.
Metode ini hanya menggunakan satu kitab
penunjuk saja, yaitu : “ Al-Mu’jam al-Mufarhas li alfazh al-Hadits al-Nabawi”.
Kitab ini merupakan susunan orang orientalis barat yang bernama Dr.A.J.
Wensink, Dr. Muhamad Fuad ‘ Abd al-Baqi. Kitab-kiatb yang jadi rujukan dari
kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya : Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’I, SSunan ibn Majah ,
Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi. Yang mana masing –masing
mempunyai kode tersendiri.
c) Melalui pengamatan tema hadits
Metode ini akan mudah digunakan oleh
orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits. Orang yang awam akan hadits
akan sulit menggunakan metode ini, karena yang dituntut dari metode ini adalah
kemampuan menentukan tema dari suatu hadits yang akan ditakhrijkan. Baru kita
membuka kitab yang mengandung tema tersebut. Adapun kitab-kitab yang akan
digunakann dalam metode ini adalah kitab-kitab yang disusun secara tematis.
Serta kitab-kitab ini dapat dibedakan dalam tiga kelompok :
Kitab-kitab yang berisi seluruh tema
Agama diantaranya :
1) Al-jami’ al Shahih Li al-Bukhari.
2) Al-Jami’ al Shahih Li Muslim.
3) Mustakhraj al-Ismaili
Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak
tema-tema Agama, seperti kitab Sunah,
yaitu:
1) Sunah Abi Dawud Li Sulaiman Ibn al-Asy’ats al Sijitsan
2) Al Muwatha ‘ Li al-Imam Malik Ibn Anas al-Madani.
Kitab yang hanya berisi satu tema Agama
saja, yaitu :
1) Al-Ahkam Li’ Abd Al-Ghani ibn’ Abd al Wahid al Muqdisi.
d) Melalui pengenalan tentang sifat khusus matan atau sanad hadits
Yang dimaksud dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan dan sifat
hadits baik yang ada pada matan maupun sanadnya. Pertama yang harus
diperhatikan adalah keadaan sifat yang ada pada matan kemudian yang ada pada
sanad lalu kemudian yang ada pada keduanya.
1) Dari segi matan : apabila pada hadits itu tampak ada tanda-tanda
kemaudhuan, maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal hadits itu adalah
mencari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits maudhu. Dalam kitab ini ada
yang disususn dalam alfabetis antara lain kitab al-mashnu’ al-hadits
al-maudhu’li al syaikh’ al qori al syari’ah. Dan ada yang secara matematis
antara lain kitab tanzih al-syari’ah al- marfu’ah al-ahadits al-syafiah al-maudhu
li al kanani.
2) Dari segi sanad : apabila dalam sanad suatu hadits ada ciri tertentu,
misalnya isnad hadits itu mursal, maka hadits itu dapat dicari dalm kitab-kitab
yang mengumpulkan hadits-hadits mursal atau ada seorang perawi yang lemah sanadnya,
maka dapat dicari dalam kitab mizan al-I’tidal li al- dzahahi.
Dari segi matan dan sanad : ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang
terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk mencari hadits
semacam itu dapat di cari dalam kitab : ‘ilal al hadits li ibn abi hakim
al-razi dan Al- Mustafad min Mubhamat al- matn wa al- isnad li abi Zar’ah Ahmad
Ibn al- Rahim al- Iraqi.
2. Takhrij Tashhih
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang
pertama diatas. Tashhih dalam arti menganalisis keshahihan hadits dengan
mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah. Kegiatan tashhih dengan
menggunakan kitab ‘ Ulum al-Hadits yang berkaitan dengan Rijal, Jarh wa
al-Ta’dil, ma’an al-Hadits Gharib al- Hadits. Kegiatan ini dilakukan oleh
Mudawin ( kolektor ) sejak Nabi Muhammad saw. Sampai abad 3 H. Dan dilakukan
oleh para Syarih ( komentator ) sejak abad 4 H. sampai sekarang.
3. Takhrij I’tibar
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang
kedua di atas. I’tibar berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari
literature, baik kitab yang asli, kitab syarah dan kitab fan yang memuat
dalil-dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang perlu ditempuh dalam
studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
a. Dilihat, apakah hadits tersebut benar-benar sebagai hadits.
b. Memperhatikan unsur hadits seperti : sanad, matan dan perawi.
c. Termasuk jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawi, matan dan
sanadnya.
d. Bagaimana kualitas hadits tersebut.
e. Bila hadits itu maqbul, bagaimana ta’amulnya , apakah ma’mul bih (dapat
diamalkan) atau ghoir ma’ul bih.
f. Teks hadits harus dipahami ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
g. Memahami asbab wurud hadits.
h. Apa isi kandungan hadits tersebut.
i. Menganalisis problematika.
C. Tujuan dan Faedah Takhrij Hadits
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu
agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan
berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadist itu berasal. Di
samping itu, di dalamnya di temukan banyak kegunaan dan hasil yang di peroleh,
khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadist.
Takhrij hadist bertujuan mengetahui
sumber asal hadis yang di takhrij.Tujuan lainnya adalah mengetahui di tolak
atau diterimanya hadist-hadist tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui
hadist-hadist yang pengutipannya memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadist yang
berlaku sehingga hadist tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun
kualitasnya.
Adapun faedah takhrij hadis antara lain
:
1. Dapat di ketahui banyak – sedikitnya jalur periwayatan suatu hadist yang
sedang menjadi topic kajian.
2. Dapat di ketahui kuat tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat.
Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan tidak
bertambah.
3. Dapat di temukan status hadist shahih li dzatih atau shahih li ghairih,
hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga akan dapat di ketahui
istilah hadist mutawatir, masyhur, aziz, dan gharibnya.
4. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah
mengetahui bahwa hadist tersebut adalah makbul (dapat di terima). Sebaliknya,
orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadist tersebut tidak
dapat diterima (mardud).
5. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadist adalah benar – benar berasal dari
Rasulullah SAW. Yang harus di ikuti karena adanya bukti – bukti yang kuat
tentang kebenaran hadist tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Takhrij menurut bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati
disini adalah berasal dari kata kharaja, yang artinya nampak dari tempatnya
atau keadaannya, terpisah dan kelihatan. Sedangkan menurut istilah adalah
Mengemukakan hadits berdasarkan sumber pengambilannya dan di dalamnya disertai
metode periwayatan dan sanadnya masing-masing dengan menjelaskan keadaan perawi
dan kualitas haditsnya.
Metode untuk menentukan kehujahan hadits serta unsur-unsurnya. Yang terbagi
menjadi tiga, yaitu : Naql, tashhih dan I’ tibar.
Tujuan pokok mentakhrij hadits adalah untuk mengetahui sumber asal hadits yang
ditakhrij dan untuk mengetahui keadaan hadits tersebut yang berkaitan dengan
maqbul dan mardud –nya. Sedangkan kegunaan Takhrij antara lain :
a. Dapat mengetahui keadaan hadits.
b. Dapat mengetahui keadaan sanad hadits dan silsilahnya
Dapat memastikan identitas para perawi, baik berkaitan dengan Kun-nya
(julukan), laqab ( gelar ) atau nasab ( keturunan ) dengan nama yang jelas,
dll.